Suatu ketika Imam Hammad bin Sulaiman datang ke masjid jamik bersama muridnya Abu Hanifah. Waktu itu, Khalifah mengundang para ulama untuk berdebat dengan tokoh ateis. Waktu itu, Abu Hanifah masih sangat muda. Ia duduk di bawah.
Tokoh ateis itu naik ke atas mimbar. “Siapa yang akan menjawab pertanyaanku?” katanya dia menantang hadirin.
“Anda jangan menentukan siapa yang akan menjawab, baik itu anak-anak ataupun orang tua, dialah yang akan berhadapan denganmu.” Sahut Abu Hanifah.
“Hai anak kecil yang masih belum kering khitanannya, banyak ulama-ulama besar bertekuk lutut di hadapanku. Apa engkau sanggup menjawab pertanyaanku?”
“Silahkan, atas pertolongan Allah, aku sanggup menjawab semua pertanyaan yang engkau ajukan!”
“Apakah Tuhan itu ada?”
“Iya, seyakin-yakinnya.”
“Kalau begitu, dimana dia berada sekarang?”
“Dia tidak bertempat!”
“Bagaimana mungkin ada wujud tanpa memerlukan tempat.”
“Pertanyaanmu terjawab dengan apa yang ada pada tubuhmu sendiri.”
“Apa itu?”
“Apa tubuhmu ada nyawanya?” Abu Hanifah balik bertanya.
“Benar.”
“Dimana letak nyawa itu? Di kepala, perut, atau dikakimu?”
Si ateis tidak bisa menjawab. Syahdan, Abu Hanifah meraih segelas susu yang dihidangkan.
“Apakah susu di gelas ini mengandung lemak?”
“Benar.”
“Kalau begitu dimana letak lemak itu? Di bagian atas, tengah, atau bawah?”
Ateis itu tidak bisa menjawab. Maka, Abu Hanifah menimpali, “Sebagaimana ruh atau lemak pada susu itu tidak diketahui tempatnya, demikian pula Allah, dia tidak membutuhkan tempat.”
“Apa ada suatu wujud sebelum dan sesudah Allah?” si ateis itu bertanya kembali.
“Tidak ada, buktinya juga ada pada tubuhmu.”
“Apa itu?”
“Lihat telapak tanganmu! Ada apa sebelum ibu jari dan sesudah jari kelingkingmu?”
“Tidak ada apa-apa”
“Demikian pula sebelum dan sesudah Allah tidak ada apa-apa”
Si ateis kembali melontarkan pertanyaan ketuhanan yang sangat sulit.
“Kalau Allah itu ada, sekarang apa yang Dia perbuat?”
Abu Hanifah tidak langsung menjawab. Ia hanya menimpali. “Maaf, sekarang posisi kita sedang terbalik. Mestinya yang bertanya dibawah, yang menjawab diatas mimbar. Jika kau mau turun, aku akan menjawab pertanyaanmu,” Kata Abu Hanifah.
Si ateis itu menyetujui usulan Abu Hanifah. Ia turun dan Abu Hanifah naik. Di atas mimbar Abu Hanifah muda bilang, “Sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu. Yang diperbuat Allah saat ini adalah menurunkan martabat orang sesat dari mimbar penghormatan ke lantai dasar, kemudian Allah menaikkan martabat orang yang benar dari bawah ke mimbar penghormatan.”
Si ateis betul-betul mati kutu.
Tokoh ateis itu naik ke atas mimbar. “Siapa yang akan menjawab pertanyaanku?” katanya dia menantang hadirin.
“Anda jangan menentukan siapa yang akan menjawab, baik itu anak-anak ataupun orang tua, dialah yang akan berhadapan denganmu.” Sahut Abu Hanifah.
“Hai anak kecil yang masih belum kering khitanannya, banyak ulama-ulama besar bertekuk lutut di hadapanku. Apa engkau sanggup menjawab pertanyaanku?”
“Silahkan, atas pertolongan Allah, aku sanggup menjawab semua pertanyaan yang engkau ajukan!”
“Apakah Tuhan itu ada?”
“Iya, seyakin-yakinnya.”
“Kalau begitu, dimana dia berada sekarang?”
“Dia tidak bertempat!”
“Bagaimana mungkin ada wujud tanpa memerlukan tempat.”
“Pertanyaanmu terjawab dengan apa yang ada pada tubuhmu sendiri.”
“Apa itu?”
“Apa tubuhmu ada nyawanya?” Abu Hanifah balik bertanya.
“Benar.”
“Dimana letak nyawa itu? Di kepala, perut, atau dikakimu?”
Si ateis tidak bisa menjawab. Syahdan, Abu Hanifah meraih segelas susu yang dihidangkan.
“Apakah susu di gelas ini mengandung lemak?”
“Benar.”
“Kalau begitu dimana letak lemak itu? Di bagian atas, tengah, atau bawah?”
Ateis itu tidak bisa menjawab. Maka, Abu Hanifah menimpali, “Sebagaimana ruh atau lemak pada susu itu tidak diketahui tempatnya, demikian pula Allah, dia tidak membutuhkan tempat.”
“Apa ada suatu wujud sebelum dan sesudah Allah?” si ateis itu bertanya kembali.
“Tidak ada, buktinya juga ada pada tubuhmu.”
“Apa itu?”
“Lihat telapak tanganmu! Ada apa sebelum ibu jari dan sesudah jari kelingkingmu?”
“Tidak ada apa-apa”
“Demikian pula sebelum dan sesudah Allah tidak ada apa-apa”
Si ateis kembali melontarkan pertanyaan ketuhanan yang sangat sulit.
“Kalau Allah itu ada, sekarang apa yang Dia perbuat?”
Abu Hanifah tidak langsung menjawab. Ia hanya menimpali. “Maaf, sekarang posisi kita sedang terbalik. Mestinya yang bertanya dibawah, yang menjawab diatas mimbar. Jika kau mau turun, aku akan menjawab pertanyaanmu,” Kata Abu Hanifah.
Si ateis itu menyetujui usulan Abu Hanifah. Ia turun dan Abu Hanifah naik. Di atas mimbar Abu Hanifah muda bilang, “Sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu. Yang diperbuat Allah saat ini adalah menurunkan martabat orang sesat dari mimbar penghormatan ke lantai dasar, kemudian Allah menaikkan martabat orang yang benar dari bawah ke mimbar penghormatan.”
Si ateis betul-betul mati kutu.
Husni Mubarok (Buletin Sidogiri)
Poskan Komentar komentar untuk "Ateis Vs Anak Kecil"
Posting Komentar
Komentar, Keritikan, Saran, kami tunggu. asalkan membangun dan tidak mengandung
- Spam
- Porn
- Sara
- Rusuh